Monday, April 23, 2007

Al-Qur'an Sebagai Inspirasi Gerakan Anti-Korupsi

Al-Qur'an Sebagai Inspirasi Gerakan Anti-Korupsi

Oleh Muhammad Subhan Setowara *


INDONESIA kini berhadapan dengan sebuah masalah paling krusial dalam kasus korupsi. Ia tidak saja menjadi kendala struktural, namun lebih dari itu. Karena masalah struktural tadi, korupsi telah membudaya (nation culture), menjadi bagian yang tak terpisahkan dari realitas birokrasi kita.

Gerakan pemberantasan memang telah banyak dilakukan. Bahkan beragam metode dan model gerakan telah digalakkan. Mulai dari gerakan moral-kultural, politis-struktural, maupun pembaharuan substansi perundang-undangan. Tapi korupsi tak urung usai, ia senantiasa menyelinap dalam setiap sendi kehidupan kita: ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan agama.

Tentu saja, sebagai bentuk kepedulian moral, agama harus tetap diikutkan untuk masalah yang satu ini. Karena, kita masih berkeyakinan bahwa saat ini, kualitas moral politisi sesungguhnya punya pengaruh yang sangat signifikan dalam membuka pintu-pintu terjadinya praktik korupsi. Pada level inilah, agama perlu menjadi moral guardian (benteng moral) untuk mengawal aktivitas politik penganutnya agar tidak terjebak pada pengingkatan amanah.

Pada sisi yang berbeda, realitas kaum pinggiran yang kini semakin memprihatinkan dalam kehidupan bangsa kita, juga merupakan tanggung tanggung jawab agama. Sungguh argumen reflektif Hassan Hanafi perlu kita hadirkan di sini. Bagi Hanafi, walaupun Islam meneguhkan adanya konsep ummah wahidah dalam Islam, namun secara empiris kaum muslimin terbagi dalam dua kelompok, yakni umat yang kaya dan umat yang miskin. Jika semakin hari semakin lebar jarak itu, maka di sinilah, agama telah kehilangan vitalitasnya sebagai agen kemanusiaan (humanity agency).

Sangat tegas. Banyak ayat dalam al-Quran yang memberi argumen bahwa dalam setiap harta yang dimiliki manusia, senantiasa ada hak yang tersurat. Dan hak itu, jelas bukan miliknya (Qs. Al-Maarij, 70: 24-25). Dengan ungkapan yang berbeda, Allah ingin memberi ketegasan, bahwa sesungguhnya seorang manusia harus menafkah atas harta yang dikuasai (Qs. Al-Hadid, 57: 7). Lalu, jika korupsi dilakukan, bukankah itu merupakan pengingkaran akbar atas amanah kebendaan yang tengah dititipkan pada manusia. Hanya saja, ini sekadar menjadi kesadaran kultural, tidak punya daya paksa struktural, sehingga sang koruptor menjadi tak bergeming.

Begitulah, sesungguhnya memang sudah saatnya al-Quran tidak lagi diletakkan sebagai kesadaran normatif yang hanya bergerak pada wilayah kultural. Ia juga harus mampu menyelinap dalam perbaikan pada ruang-ruang struktural. Dan itu artinya, al-Quran juga sesungguhnya bisa menjadi landasan teoritik yang bisa dipakai untuk melakukan pembebasan kemanusiaan, bahkan untuk masalah seperti korupsi.

Perspektif Qurani

Al-Quran mempunyai kekuatan untuk membentuk budaya masyarakat. Untuk konteks Indonesia, sesungguhnya kebanyakan masyarakat kita, khususnya kaum pinggiran meletakkan agama sebagai kekuatan spiritual. Al-Quran memiliki impetus emosional yang dapat menggerakkan umat Islam untuk bersikap sesuai dengan ajaran yang dikandungnya. Hanya saja, yang patut disayangkan, doktrin-doktrin normatif yang tertuang dalam al-Quran itu, bagi kebanyakan umatnya tidak mempunyai dimensi sosial dan intelektual yang kuat dalam membendung realitas kemungkaran yang terjadi.

Asumsi ini jelas perlu diperbaharui. Islam bukanlah teologi eskapistik yang mengamini umatnya untuk larut dalam buaian spiritual, sehingga lupa akan tanggung jawab sosialnya. Jika ditelaah lebih jauh, al-Quran mempunyai perangkat teoritis yang bisa dipakai untuk membentuk ragam manifes ketidakadilan sosial.

Terkait korupsi, bagi saya al-Quran tidak saja mampu membentuk kesadaran moral manusia untuk tidak rakus memakan harta rakyat. Al-Quran juga punya perangkat teoritis untuk memberantas korupsi. Dalam banyak ayat, seringkali terdapat penegasan akan tesis Lord Acton bahwa kekuasaan itu cenderung korup (power tends to corrupt). Dan al-Quran, tidak saja menghadirkan penegasan itu, ia juga sekaligus melarang umat Islam untuk memilih kaum penindas jadi penguasa (Qs. An-Naml: 34, Al-Kahfi: 71, Saba: 34-35, Al-Zuhruf: 23, Al-Isra: 16, Hud: 27). Namun jika mereka terlanjur berkuasa, maka perlu dilakukan oposisi melawan hegemoni kaum penindas itu (Qs. Al-Hujurat: 9).

Di sinilah, dalam Al-Quran juga sempat disinggung bahwa kaum tertindas perlu menjadi pemimpin di bumi ini (Al-Shaff: 5, Al-Anfal: 137). Jika dipahami secara kontekstual, dapat dimengerti bahwa sifat-sifat seorang pemimpin seharusnya bukan sosok yang korup, namun profil populis yang dekat dengan rakyat, dan mencintai mereka.

Gerakan oposisi terhadap penguasa yang korup bahkan diyakini sebagai jihad fi sabilillah (Al-Nisa: 75) yang juga merupakan agenda para rasul (Al-Anfal: 157). Di sinilah praksis pembelaan terhadap kaum lemah perlu dilakukan. Dengan demikian, boleh dibilang bahwa ruang ketakwaan tidak saja dilihat melalui ibadah ritual serta kepuasan spiritual yang telah diraih, namun lebih dari itu, yang terpenting adalah bagaimana seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain. Maka membela kaum lemah juga merupakan bagian dari karakter insan takwa (Qs. Al-Baqarah: 197, Ali Imran: 134, Al-Insan: 8-9, Al-Maarij: 24, Al-Dzariyat: 19). Bahkan sangat mungkin, iman pada level inilah yang justru lebih penting.

Korupsi sebagai bagian dari monopoli dan konsentrasi kekuasaan juga disinggung oleh al-Quran, seraya mengutuknya (Qs. Al-Hasyr: 7). Pada sisi inilah, secara radikal kemudian al-Quran "begitu berani" mengklaim orang yang (mushally) sebagai pendusta agama jika ia tidak memiliki keperpihakan pada anak yatim (Qs. Al-Maun: 1-7). Dan tudingan celaka, bagi umat Islam yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya tanpa ada kesadaran nurani (inner conscious) untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare) (Qs. Al-Humazah: 1-9).

Korupsi, juga merupakan bentuk paling nyata dalam membentuk prahara sosial. Dalam surat Al-Fajr: 15-20, pernah disebutkan bahwa masalah sosial yang terjadi disebabkan oleh empat hal: yakni 1) sikap ahumanis: yakni tidak memuliakan anak yatim, 2) sikap asosial: tidak memberi makan orang miskin, 3) sikap monopilistik: memakan warisan (kekayaan) alam dengan rakus, 4) sikap hedonis: mencintai harta benda secara berlebihan. Dilihat dari empat kategori itu, korupsi masuk dalam setiap sendi itu.

Korupsi benar-benar telah membunuh rasa kemanusiaan kita. Tentu saja amat menyedihkan, jika seorang politisi beragama Islam menggunakan jabatannya untuk melakukan korupsi. Jika itu terjadi, berarti dia telah meletakkan al-Qur’an hanya sebagai hiasan kata-kata. Dari sinilah, keberimanan masyarakat oleh al-Quran perlu dipandu untuk menghidupkan kembali rasa kemanusiaan kita, melalui pembaharuan struktural, dan tidak hanya dorongan moral. Al-Qur’an harus menjadi inspirasi dan pelopor untuk melakukan gerakan pembebasan, termasuk dalam memberantas korupsi

* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Agama Islam UMM dan mantan aktivis Lembaga Dakwah Kampus Jamaah AR Fachruddin (LDK-JF).

1 comment:

Unknown said...

Tulisan yang sangat bagus dan inspiratif sekaligus persuasif. Sangat "harus" untuk dibaca semua penduduk Indonesia ini agar gerakan menghentikan korupsi dan memberangus budaya korupsi menjadi musuh bersama. Terlebih bagi kita, Saudara2ku yang rentan dan dekat dengan godaan korupsi ini, marilah kita resapi dan hayati sekaligus amalkan pesan moral dari tulisan ini. Semoga Allah membantu kita untuk keluar dari peperangan melawan korupsi ini. Amin.